Mungkin kebanyakan orang bilang, aku adalah orang yang pendiam. Tapi juga tak ku elak karena kurasa itu benar. Sesungguhnya di dalam hatiku aku sungguh ingin banyak bicara, tapi aku tak tau bagaimana caranya mengungkapkannya.
Hai perkenalkan, namaku Quittalia Nisa, anak kedua dari tiga bersaudara. Aku memang anak pendiam mungkin sangat amat pendiam. Aku tak banyak bicara, mungkin bicara seperlunya saja. Bukannya aku pelit, cuek, atau bagaimana, tapi karena aku merasa aku bukan apa-apa, aku tak memiliki kelebihan-kelebihan seperti teman-temanku lainnya. Mungkin aku banyak bicara ketika bersama keluargaku, dua orang sahabatku--Lilia dan Ivi, dan seorang teman masa kecilku, Akbar. Tapi kini, saat aku harus merantau ke pulau orang, aku harus benar-benar memendam rasa rinduku kepada mereka, rindu yang sangat amat dalam. . Notebook sedang berwarna biru muda lah yang selalu menemaniku dan mendengarkan curhatku setiap harinya.
Kuliah, aku sangat bahagia bisa kuliah di salah satu universitas terbaik di seluruh Indonesia, tapi itu berarti aku harus bertemu orang-orang dan lingkungan yag baru pula. Sejujurnya aku tak siap dengan semua ini, sungguh tak siap. Tapi inilah jalan yang kupilih dan aku harus menjalaninya. Allah sudah memberikan kesempatan ini kepadaku dan aku harus memanfaatkannya dengan baik.
Hari demi hari kulalui, lembar baru dimulai, akhir-akhir ini sedang gencar-gencarnya persiapan ospek. Mau tidak mau aku harus banyak meluangkan waktuku untuk mengerjakan tugas-tugas ini dan itu. Berkumpul dengan teman-teman baru, mengerjakan tugas bersama, tapi tetap saja aku merasa sendiri dan terpencil, seakan-akan aku tak ada di situ, tak ada di sekitar mereka. Aku malu jika ingin bergabung dengan mereka, aku selalu merasa, aku berbeda dengan mereka, aku tak pantas berteman dengan mereka. Mereka seperti golongan tingkat atas menurutku, sedangkan aku dan beberapa teman pendiam lainnya hanyalah golongan yang biasa-biasa saja.
Berhari-hari seperti itu, sampai tak terasa sudah satu minggu berlalu. Kami sedang berada di sebuah taman di dalam kampusku yang asri. Kami sedang mengerjakan tugas bersama dan teman-temanku saling bercanda gurau, menyanyi bersama, dan juga menari-nari, sesekali aku tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah laku mereka yang unik-unik dari pojokan taman sambil berharap aku bisa membaur dengan mereka.
Aku sadar ada beberapa temanku tadi yang memperhatikanku, aku mulai tak nyaman, dan memilih untuk menundukkan kepala agar tak melihat mereka. Tiba-tiba salah dua orang dari mereka menghampiriku, aku tau nama mereka Aris dan Ghia.
"Hei Nis, ngapain kamu mojok di sini sendirian, ayoo ikutan ke sana" ajak Ghia dengan ramah
"Wah mereka mengenalku ternyata," batinku dalam hati
Aku masih terdiam sambil tersenyum
"Yukz Nis, jangan nggalau di sini, bahaya loo, hehe" lanjutnya
Tiba-tiba Aris menarikku ikut bersama mereka, aku melihat beberapa teman lain melakukan hal yang sama kepada teman-teman yang kurasa pendiam-pendiam seperti diriku.
Mereka meminta kami--para anak pendiam untuk ikut bernyanyi bersama mereka. Mereka terkadang melakukan hal-hal aneh yang sebenarnya sudah tak pantas lagi dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Kami tertawa bersama, jujur, baru kali ini aku merasakan hal yang seperti ini, tertawa lepas bersama orang-orang yang baru aku kenal. Baru kali inilah aku merasakan jika aku diperhatikan. Aku merasa aku memiliki keluarga di sini, di lingkungan baruku. Ya memang seharusnya kita menjadi sebuah keluarga yang utuh. Aku melihat teman-teman pendiam lainnya juga mungkin merasakan hal yang sama denganku. Aku melihat cara mereka tertawa lepas yang tidak seperti biasanya. Aku merasa lebih kuat, aku merasa lebih terbuka untuk bergaul dengan mereka semua, aku merasa punya keberanian yang tidak seperti biasanya.
"Aku bersyukur ya Allah telah engkau pertemukan dengan orang-orang hebat ini. Tuntunlah aku dalam masa adaptasiku ini. Lancarkanlah jalan kami semua. Semoga ini adalah awal yang baik untuk kedepannya." batinku sambil tersenyum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar